Header Ads

  • Breaking News

    Riak Logone di Politik Republik Afrika Tengah


    Di tengah kekacauan politik dan konflik bersenjata yang tak kunjung usai di Republik Afrika Tengah, wacana berdirinya negara baru kembali mengemuka. Republik Logone, sebuah wilayah di timur laut negara itu, sempat dideklarasikan secara sepihak pada 14 Desember 2015 oleh kelompok pemberontak Front Populaire pour la Renaissance de la Centrafrique (FPRC). Pengumuman itu dibacakan oleh juru bicara pemberontak, Maouloud Moussa, yang menyebut bahwa Logone ingin otonomi penuh terlebih dahulu sebelum menuju kemerdekaan seutuhnya.

    Motif utama dari deklarasi ini memang berakar pada ketidakmampuan pemerintah pusat di Bangui dalam memberikan perhatian dan layanan dasar bagi wilayah timur laut yang miskin dan termarjinalkan. Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya. Ada dorongan identitas sejarah dan politik yang kuat di balik gagasan Republik Logone, di mana wilayah ini dulunya merupakan bagian dari Kesultanan Dar al-Kuti, sebuah entitas politik Islam yang berpengaruh di kawasan itu sebelum penjajahan Prancis.

    Pemberontak FPRC menyebut bahwa pendirian Logone juga menjadi respons atas ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan politik dan ekonomi di negara itu, di mana elit Bangui selama ini dianggap hanya mementingkan wilayah barat dan selatan. Selain itu, ketidakamanan berkepanjangan akibat perang saudara membuat kelompok bersenjata di timur laut merasa lebih mampu mengurus diri sendiri ketimbang tunduk pada pemerintah pusat yang lemah.

    Meski deklarasi kemerdekaan Logone sempat mengguncang peta politik Afrika Tengah, banyak analis, termasuk Louisa Lombard dari Yale University, meyakini bahwa langkah itu lebih sebagai manuver politik jelang pemilu dan upaya tawar-menawar posisi dalam negosiasi damai. Para pemberontak menyadari betul bahwa secara praktis, sangat sulit membangun sebuah negara baru di kawasan tandus dan miskin fasilitas, apalagi tanpa pengakuan internasional.

    Namun, dukungan dari kelompok bersenjata lain seperti Central African Patriotic Movement (MPC), Rassemblement Patriotique pour le Renouveau de la Centrafrique (RPRC), dan Movement of Central African Liberators for Justice (MLCJ) memperkuat posisi politik FPRC di lapangan. Koalisi ini sempat menguasai beberapa kota strategis di timur laut, meski kemudian banyak wilayah direbut kembali oleh pemerintah pusat, termasuk Kaga-Bandoro pada April 2021.

    Motif ekonomi juga ikut mendorong munculnya wacana Republik Logone. Wilayah ini kaya akan tambang berlian dan emas, dua komoditas yang menjadi sumber utama pembiayaan perang bagi kelompok-kelompok bersenjata. Dengan berdiri sebagai negara merdeka, kelompok ini berharap bisa mengontrol sepenuhnya sumber daya tersebut tanpa intervensi Bangui, sekaligus memperdagangkannya langsung ke pasar gelap internasional.

    Persoalan identitas etnis dan agama turut mewarnai gerakan ini. Sebagian besar penduduk timur laut beragama Islam, berbeda dengan mayoritas warga Republik Afrika Tengah yang beragama Kristen. Selama ini, ketegangan berbasis agama menjadi salah satu penyebab utama konflik di negara tersebut. Dengan mendirikan republik sendiri, kelompok pemberontak ingin membangun sistem pemerintahan berbasis hukum Islam dan nilai-nilai lokal.

    Peluang berdirinya Republik Logone memang kecil jika dilihat dari peta geopolitik kawasan. Uni Afrika, PBB, dan negara-negara tetangga sejak awal menolak wacana pemisahan wilayah dan terus mendukung integritas teritorial Afrika Tengah. Apalagi, pemerintah di Bangui secara bertahap berhasil merebut kembali beberapa wilayah pemberontak dengan bantuan pasukan Rusia dan Rwanda.

    Di sisi lain, Republik Logone juga kesulitan mencari dukungan diplomatik dari negara-negara sahabat. Tak seperti Sahara Barat yang mendapat kursi di Uni Afrika atau Palestina yang diakui oleh sejumlah negara, Logone belum pernah mendapat pengakuan formal dari satu pun negara anggota PBB. Tanpa legitimasi internasional, ambisi kemerdekaan itu hanya akan menjadi simbol perlawanan lokal semata.

    Kondisi kemanusiaan di wilayah yang diklaim sebagai Logone pun memprihatinkan. Warga sipil terjebak di antara konflik kelompok bersenjata dan operasi militer pemerintah. Banyak desa hancur, ribuan orang mengungsi, dan layanan kesehatan serta pendidikan nyaris tak ada. Dalam situasi ini, gagasan negara baru terasa utopis tanpa infrastruktur, ekonomi, dan pemerintahan yang berjalan.

    Meski demikian, ancaman separatisme Logone tetap menjadi tantangan serius bagi pemerintah pusat. Selama ketidakadilan ekonomi, ketimpangan pembangunan, dan diskriminasi identitas belum ditangani, ide kemerdekaan semacam ini akan terus bermunculan. Hal ini mirip dengan situasi di wilayah Azawad, Mali, yang juga dipicu oleh ketimpangan politik dan ekonomi.

    Langkah realistis yang mungkin ditempuh adalah menawarkan otonomi khusus bagi Logone, mirip model Kurdistan di Irak. Otonomi ini bisa mencakup pengelolaan sumber daya lokal, kewenangan dalam urusan adat dan agama, serta kepemimpinan politik daerah yang lebih mandiri. Dengan cara ini, kelompok pemberontak bisa diajak masuk ke dalam sistem politik nasional tanpa memisahkan diri sepenuhnya.

    Namun, upaya ke arah itu masih sulit dilakukan karena ketidakpercayaan yang tinggi antara pemerintah pusat dan kelompok pemberontak. Sejumlah perjanjian damai sebelumnya selalu gagal akibat pelanggaran sepihak dan ketidakkonsistenan implementasi di lapangan. Selain itu, campur tangan aktor asing yang memiliki kepentingan atas sumber daya alam Logone turut memperkeruh situasi.

    Tanpa komitmen serius dari elite Bangui untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memberi ruang lebih luas bagi wilayah pinggiran, wacana separatis seperti Republik Logone akan terus hidup. Apalagi, di tengah krisis politik global dan konflik di Afrika yang cenderung diabaikan, ruang bagi kelompok-kelompok kecil untuk memanfaatkan kekacauan tetap terbuka lebar.

    Bagi warga sipil Logone, yang mereka butuhkan sebenarnya bukan negara baru, melainkan keamanan, layanan dasar, dan kesempatan hidup yang setara dengan warga lain di Afrika Tengah. Selama kebutuhan dasar itu diabaikan, simbol-simbol perlawanan seperti Republik Logone akan terus menjadi bendera alternatif bagi mereka yang tak lagi percaya pada pemerintahnya sendiri.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad